Rabu, 06 Agustus 2008

Cinta Dibalik Piring Nasi

Hari ini aku benar-benar merasa lelah. Rasa kesal dan sedikit geram merongrong pikiran dan perasaanku. Sudah berulangkali aku mencoba membujuk rayu Kei, tapi makhluk kecil itu tak jua mau makan. Sudah lelah sejak tadi pagi matahari belum bangun, menyiapkan segala sesuatu untuk suami agar bersiap melawan terik dan menghempas keringat mencari nafkah untuk hari ini, memasak menu special untuk buah hati, hingga membereskan rumah yang sejak semalam bak kapal pecah, akibat eksploitasi karakter Kei yang memang sedang aktif-aktifnya. Semuanya makin bertambah lelah tatkala buah hatiku ini tak mau makan.

Dari awal mencoba bersabar, setengah kesal, kesal, dan akhirnya berujung kemarahan dan putus asa. Kuhempaskan tubuhku yang berpeluh ke sudut sofa. Sementara piring makan yang masih tampak penuh nasi dan lauk serta sayur kugeletakkan begitu saja di meja makan. Kulihat Kei tampak asik memainkan balok-balok huruf dan angka yang berwarna-warni. Tak ada sedikitpun penyesalan dari wajah mungilnya. Tak tahukah ia baru saja telah membuatku kesal dan marah ? Tak sadarkah ia sudah membuat hatiku terluka ?

Ingin rasanya aku berteriak tepat di genderang telinganya, menyerukan bahwa ia nakal, ia jahat, ia egois, aku benci Kei…ah, untung saja akal sehatku masih mendominasi otak. Kurasa, aku tak akan tega melakukannya. Yang bisa kuperlihatkan padanya bahwa aku marah hanya ekspresi wajah yang kubuat tertekuk dan merengut, selebihnya diam dan melihatnya dengan tatapan tajam.

Tak lama, Kei mendekatiku. Menarik-narik tanganku hingga sedikit memerah. Aku coba bertahan dengan tak merespon. Merasa dicuekin, Kei-pun mulai sesenggukan (meski tak menangis). Aku tetap diam.

Kei berlari kecil, meraih piring nasi yang kugeletakkan tadi dan memberikannya padaku. Aku mengernyitkan dahi, tak menduga tapi juga bahagia. Aku-pun menerima piring nasi itu dan bertanya :

“Kei mau makan lagi ya ? bunda suapin lagi ya ?”

Kei kecil tersenyum tanpa menjawab. Aku tahu, meski ia belum bisa berkata-kata tapi senyum itu menandakan “ya”

Benar saja, begitu aku suapkan sendok pertama, ia melahapnya dengan suka cita. Begitu juga dengan suapan-suapan berikutnya. Hingga akhir, nasi habis.

Hhh…bahagianya…rasanya lelah yang sejak tadi seperti musnah bersama lahapnya Kei. Aku tersadar dari ego yang merasuk, mencoba menelaah dari kejadian kecil nan sederhana ini…

Makhluk kecil Kei ternyata jua merasakan cinta dan kasih bundanya. Nalurinya seolah membuka pintu hati untuk menerima rasa cinta yang kuberikan dengan sebesar-besar dan tulus. Ia tahu aku mencintainya…dan dari senyum membawa damai itu aku juga tahu, Kei mencintaiku…

Mungkin, tadi ia ingin meredakan marahku dan memilih untuk berdamai denganku. Pikirnya, daripada kehilangan cinta bunda, lebih baik aku mau makan aja ah….hehehe…


Meski belum bisa berkata-kata, bayi semungil apapun sudah memiliki naluri untuk mencinta dan dicintai…kurang lebih seperti itu…

Tidak ada komentar: