Jumat, 08 Agustus 2008

Menghargai Sepenggal Usaha

Hampir saja tak kusadari,Kei kini sudah semakin besar. Meski belum banyak kata yg terlontar dari bibir mungilnya yg merah, tapi caranya menatapku sudah cukup mengisyaratkan bahwa ia mencintaiku.

Dekapan lembut dan menyeretku ke tempat tidur, seolah aku adalah hal yg paling berharga dalam hidupnya. Ia selalu membutuhkanku, bahkan sampai ujung mimpi2nya. Aku tak pernah bisa berkata tidak jika malaikat kecilku ini berharap kasih dariku.

Dari pancaran nan bening dua buah bola mata yg indah, selalu berhasil meruntuhkan penat yg sejak lalu mendera. Apalagi kala ia memintaku untuk memeluknya. Aku seperti menjadi perempuan yg paling sempurna. Setidaknya sempurna di hatinya...

Terakhir, kulihat ia telah berbangga, memperlihatkan padaku, bagaimana ia mampu mendaki kursi sofa di ruang tamu rumah kami. Dengan penuh perjuangan, tubuh mungil itu sampai juga di puncak kursi. Tawanya riang, ini adalah kesuksesan besar yang ia raih, saat ini.

Daddy-nya terkejut dan cepat-cepat hendak memperingatkan, sebuah bentuk kekhawatiran seorang bapak akan putrinya. Wajar. Tapi aku tak kalah cepat menahan langkahnya,

"Biarkan saja..." aku malah bersorak dan bertepuk tangan, "Hebaaaat..." pujiku seraya memeluknya dan membopongnya turun dari kursi.

"Tapi, sekali lagi jangan memanjat sendirian ya pintar...bunda sama ayah harus diajak juga dong...ok ?" bisikku lembut di telinga putri kecilku ini

Kei tertawa girang, aku yakin dia mengerti apa yg kuucapkan tadi...dalam hati...

Sang daddy mengelus rambutku, seolah ingin mengungkapkan sejuta pujian untukku karena telah berhasil menurunkan Kei dari kursi tanpa membuatnya menangis.

"Setidaknya, kita harus menghargai usahanya. Tentu nggak mudah untuk bisa memanjat kursi itu. Umur 1 tahun, itu sudah hebat loh. Dan nyatanya ia berhasil ! ucapku setengah berbisik di telinga suamiku

Kei bergelayut manja pada daddy-nya, "Anak hebat...!" puji daddy sembari mengecup kening putri kecil kami nan pintar ini.

Selimut kasih

Malam ini larut dalam kebekuan. Dingin membisu di rumah ini. Aku tersadar, penat yang sejak tadi mendera menggunung hingga pada titik tertinggi, aku kalah oleh rasa, kalah oleh raga...dan ego meloncat kegirangan...menyoraki aku yang sesaat lagi akan marah. Marah pada sekitarku, marah pada diriku sendiri. Tapi yg jelas tak sanggup aku marah sama Allah, Ya Rab yang sudah begitu baiiiiiiiikkkk memberikan aku kenikmatan hidup yang kadangkala aku lupa bahwa kenikmatan hidup itu juga ujian buatku...
Tiba-tiba...oekkkk..mmammma....teriakan itu aku hapal betul. Kei terbangun dari bobonya sejak sedari sore tadi. Seperti biasa, mencariku, bundanya. Mendengar teriakannya, buru-buru aku yg tengah menulis posting ni berlari kecil menuju kamar pinky si-Keisha. Ternyata dari arah yg lain, sang daddy tak kalah gesit beranjak dari dvd meninggalkan acara nonton film batman demi mencuri pipi Kei untuk dicium. Dan kami berdua pun bersamaan menyambut mentari malam hari dengan penuh ceria. Yup...sedetik saja suasana sudah mencair...malam yang dingin ini terasa hangat kembali. kami bertiga pun berangkulan. Menandakan bahwa hati sebeku apapun pasti akan leleh dalam buai cinta kasih si buah hati, yg juga buah cinta kami berdua...
Allah ya Rabb, memang Maha Kasih...diselimutiNya kami dengan gelap penuh bintang...syahdu...dan kami larut dalam dekapan kasihNya saat sholat Isya berjamaah..Alhamdulillah....

Rabu, 06 Agustus 2008

Cinta Dibalik Piring Nasi

Hari ini aku benar-benar merasa lelah. Rasa kesal dan sedikit geram merongrong pikiran dan perasaanku. Sudah berulangkali aku mencoba membujuk rayu Kei, tapi makhluk kecil itu tak jua mau makan. Sudah lelah sejak tadi pagi matahari belum bangun, menyiapkan segala sesuatu untuk suami agar bersiap melawan terik dan menghempas keringat mencari nafkah untuk hari ini, memasak menu special untuk buah hati, hingga membereskan rumah yang sejak semalam bak kapal pecah, akibat eksploitasi karakter Kei yang memang sedang aktif-aktifnya. Semuanya makin bertambah lelah tatkala buah hatiku ini tak mau makan.

Dari awal mencoba bersabar, setengah kesal, kesal, dan akhirnya berujung kemarahan dan putus asa. Kuhempaskan tubuhku yang berpeluh ke sudut sofa. Sementara piring makan yang masih tampak penuh nasi dan lauk serta sayur kugeletakkan begitu saja di meja makan. Kulihat Kei tampak asik memainkan balok-balok huruf dan angka yang berwarna-warni. Tak ada sedikitpun penyesalan dari wajah mungilnya. Tak tahukah ia baru saja telah membuatku kesal dan marah ? Tak sadarkah ia sudah membuat hatiku terluka ?

Ingin rasanya aku berteriak tepat di genderang telinganya, menyerukan bahwa ia nakal, ia jahat, ia egois, aku benci Kei…ah, untung saja akal sehatku masih mendominasi otak. Kurasa, aku tak akan tega melakukannya. Yang bisa kuperlihatkan padanya bahwa aku marah hanya ekspresi wajah yang kubuat tertekuk dan merengut, selebihnya diam dan melihatnya dengan tatapan tajam.

Tak lama, Kei mendekatiku. Menarik-narik tanganku hingga sedikit memerah. Aku coba bertahan dengan tak merespon. Merasa dicuekin, Kei-pun mulai sesenggukan (meski tak menangis). Aku tetap diam.

Kei berlari kecil, meraih piring nasi yang kugeletakkan tadi dan memberikannya padaku. Aku mengernyitkan dahi, tak menduga tapi juga bahagia. Aku-pun menerima piring nasi itu dan bertanya :

“Kei mau makan lagi ya ? bunda suapin lagi ya ?”

Kei kecil tersenyum tanpa menjawab. Aku tahu, meski ia belum bisa berkata-kata tapi senyum itu menandakan “ya”

Benar saja, begitu aku suapkan sendok pertama, ia melahapnya dengan suka cita. Begitu juga dengan suapan-suapan berikutnya. Hingga akhir, nasi habis.

Hhh…bahagianya…rasanya lelah yang sejak tadi seperti musnah bersama lahapnya Kei. Aku tersadar dari ego yang merasuk, mencoba menelaah dari kejadian kecil nan sederhana ini…

Makhluk kecil Kei ternyata jua merasakan cinta dan kasih bundanya. Nalurinya seolah membuka pintu hati untuk menerima rasa cinta yang kuberikan dengan sebesar-besar dan tulus. Ia tahu aku mencintainya…dan dari senyum membawa damai itu aku juga tahu, Kei mencintaiku…

Mungkin, tadi ia ingin meredakan marahku dan memilih untuk berdamai denganku. Pikirnya, daripada kehilangan cinta bunda, lebih baik aku mau makan aja ah….hehehe…


Meski belum bisa berkata-kata, bayi semungil apapun sudah memiliki naluri untuk mencinta dan dicintai…kurang lebih seperti itu…